Rabu, 1 Mei 2013
Oleh Nuruddin
Kursi adalah
salah satu dari jenis mebel yang karena memiliki fungsi khas bagi kegiatan
manusia dengan segala simbol yang dilekatkan padanya.Manusia lebih banyak
menghabiskan waktu kerja mereka di atas kursi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) Kursi berarti tempat
duduk yang berkaki dan bersandaran atau arti lainnya kursi adalah kedudukan
atau jabatan
Kata kursi
sendiri sebetulnya berasal dari bahasa Arab, yaitu kursiyun. Kata ini terdapat
dalam Al Qur’an. Masyarakat kita bahkan mengenal salah satu ayat yang diberi
nama “Ayat Kursi”. Dalam bahasa Arab, arash kurshi, diartikan (kira-kira)
sebagai tempat yang teramat tinggi, agung dan mulia, lapisan yang di atasnya
lagi hanya ada Tuhan.
Sementara
kursi menurut Prof. Dr. Yus Rusyana adalah alat untuk duduk. Kursi terbuat dari
besi dan kayu. Ada yang mempunyai sandaran dan ada yang tidak. Bahkan, dalam
satu penelitian design, kursi bisa dijadikan simbol budaya masyarakat tertentu.
Nasib kursi
memang beruntung dibandingkan dengan jenis mebel lain. Ia memiliki makna
simbolis yang paling bergengsi yang tidak dimiliki mebel lain atau artefak
desain lain. “Kedudukan” yang berasal dari “duduk” berarti kekuasaan. Tak heran
bila kursi menjadi simbolnya. Istilah dalam perang atau zaman kolonialisasi,
menduduki, berarti menguasai, tidak hanya duduk-duduk berjemur di pantai,
misalnya.
Dahulu kala,
duduk dilakukan orang pada obyek yang telah disediakan alam, seperti permukaan
tanah, batu, batang pohon tumbang, dan sebagainya yang masih dilakukan sekarang
di alam terbuka atau di hutan. Kebiasaan duduk di lantai secara dominan
dilakukan di masyarakat nomaden, dan masyarakat menetap di Asia, termasuk
Indonesia dan penganut agama Islam, karena salah satu kegiatan shalat adalah
duduk di lantai. Tradisi ini melahirkan berbagai alas duduk seperti tikar,
permadani di Timur Tengah, dan tatami di Jepang. Karena keperluan duduk di
lantai, karpet yang sebenarnya sekadar pelapis permukaan lantai supaya empuk
diinjak, di kita menjadi alas lantai untuk duduk juga. Kebiasaan duduk di
lantai umumnya dilakukan pada masyarakat yang komunal- egaliter yang
mengedepankan kebersamaan dan persamaan. Barangkali peribahasa kita, “berdiri
sama tinggi, duduk sama rendah” berasal dari duduk jenis ini. Bukan dari duduk
di kursi yang memiliki ketinggian yang berbeda sehingga “tidak sama rendah” dan
memiliki nilai individual.
Bila dicari
benda selain uang yang begitu menghebohkan dunia politik di Tanah Air, jawabnya
adalah kursi. Hanya kursi. Bukan yang lain. Di dunia politik, istilah ’berebut
kursi’ sering dipakai untuk meramaikan pemilihan umum (pemilu). Istilah itu
bukan harfiah atau perumpamaan, ia benar-benar ’sekadar’ berebut kursi dalam
arti sebenarnya. Kenapa kursi? Karena ia memberi tempat bagi kegiatan manusia
yang sangat khas, duduk. Karena kursi di sebagai pejabat baik di Legislatif, Eksekutif
maupun Yudikatif semuanya berarti seonggok kekuasaan.
Dalam
dunia politik, kursi diartikan sebagai kekuasaan. Para politisi di negara kita
berebutan "kursi" hanya untuk duduk. Bila kita tengok, negara
Indonesia, yang katanya menganut demokrasi yang di dalamnya menyebutkan
kekuasaan tertinggi di tangan rakyat. Mestinya, disediakan jutaan kursi untuk
diduduki seluruh rakyat Indonesia. Tapi, pastinya akan repot, sehingga
disediakan beberapa saja kursi di Senayan sebagai kursi wakil rakyat.
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses pemilihan orang
(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik
tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden,
wakil rakyat
di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala dusun bahkan ketua RT/RW. Pada
konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi
jabatan-jabatan seperti Direktur, menejer, ketua kelompok/organisasi tertentu,
ketua OSIS, ketua BEM atau ketua kelas,
walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Untuk
diketahui dalam Pemilu 2014 mendatang, jumlah kursi DPR pusat saja sebanyak 560
kursi, untuk DPRD Provinsi sebanyak 2.137 kursi . Sedangkan untuk DPRD Kabupaten-Kota
sebanyak 17.560 kursi. Sehingga total kursi legislatif yang diperebutkan pada pemilu mendatang
sebanyak berjumlah 20.257. Perebutan kursi kekuasaan ini sejak era reformasi
tahun 1998 telah membuka ruang baru untuk berbagai macam jabatan baik dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum atau dengan sistem ditunjuk untuk
menduduki kursi jabatan tertentu.
Perebutan
kursi “kekuasaan” ahir-ahir ini menjadi sebuah tontonan yang terkadang sudah
mulai menjemukan disebabkan karena cara untuk mendapatkan tempat duduk untuk
menjalankan kekuasaan sudah mulai menggunakan cara-cara yang tidak manusiawi
dan mengingkari nilai agama. Dalam wasiat maulana syeikh TGKH.M.Zainuddin Abdul
Madjid dijelaskan “Kalau orang berjiwa
basi, hanya mengejar bayangan kursi, tidak peduli tunutan Ilahi, selalu
menendang ayat al Kursi”.
Pada hakekatnya menjadi seorang pemimpin dan memiliki
sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali sedikit dari mereka yang
dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai ajang
rebutan, khususnya jabatan yang menjanjikan tumpukan rupiah (uang dan harta)
dan kesenangan dunia lainnya mendapatkannya dengan menggunakan berbagai intrik
atau siasat untuk mendapatkan kursi jabatan tersebut. Dibalik nikmatnya kursi
jabatan yang penuh dengan prestise dan uang, jabatan memiliki tanggung jawab
yang sangat besar baik kepada allah maupun yang memberikan amanah jabatan
tersebut, kalau tidak dijalankan dengan baik akan menjadi penyesalan di
kemudian hari tidak hanya di dunia (tersangkut hukum berujung bui) melainkan
juga penyesalan di hari akhirat kelak.
Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau
menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: “Sesungguhnya kalian
nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di hari kiamat
ia akan menjadi penyesalan.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Dari Abu Dzar RA Ia berkata “saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau
tidak memberi jabatan kepadaku? Maka beliau menepak bahuku, kemudian bersabda,
‘Wahai Abu Dzar, sungguh kamu seorang yang lemah, sedangkan jabatan adalah
suatu kepercayaan, yang pada hari kiamat merupakan suatu kehinaan dan penyesalan,
kecuali bagi pejabat yang dapat memanfaatkan hak dan menunaikan dengan
sebaik-baiknya.
(HR. Muslim)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin,
memudahkannya untuk memenuhi tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran,
penghormatan dari orang lain, kedudukan atau status sosial yang tinggi di mata
manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah dan menguasai
kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ dibidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Naudzubillahi mindzalik.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon pemimpin’ dibidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Naudzubillahi mindzalik.
Sesungguhnya
jabatan merupakan amanah dari Allah SWT. Prof. Dr. Quraish Shihab dalam tafsirnya
mengartikan ‘Amanah
adalah sesuatu yang di serahkan kepada pihak lain untuk di pelihara dan di kembalikan
bila tiba saatnya atau bila di minta oleh pemiliknya. Amanah adalah lawan dari
khianat. Ia tidak di berikan kecuali kepada orang yang di nilai oleh pemberinya
dapat memelihara dengan baik apa yang di berikannya itu.
Agama
mengajarkan bahwa amanat / kepercayaan adalah asas keimanan. Berdasarkan sabda
Nabi SAW, “ Tidak
ada iman bagi orang yang tidak memiliki amanah.” Selanjutnya,
Amanah yang merupakan lawan dari khianat adalah sendi utama interaksi. Amanah
tersebut membutuhkan kepercayaan, dan kepercayaan itu melahirkan ketenangan
batin yang selanjutnya melahirkan keyakinan.
Marilah
jadikan jabatan sebagai jalan pengabdian kepada Allah dan dengan menjalankan
amanah jabatan tersebut untuk kesejahteraan dan kemaslahatan manusia di muka
bumi ini.
Rensing Bat,
Rabu, 1 Mei 2013
makin banyak blogger lombok timur yang mulai exist ...lanjutkan bro..
BalasHapus